Mudik
Kapan Mudik ?
Kapan mudik...? Mungkin pertanyaan seperti itulah yang
sudah biasa ditanyakan oleh sanak keluarga yang berada di daerah. Terutama di saat
penghujung bulan Ramadhan seperti sekarang.
Karena bagi seseorang yang pergi merantau ke tempat lain, baik itu untuk
keperluan bekerja, bersekolah, berdagang atau apapun itu kebutuhannya, pasti
akan sangat merindukan kampung halaman di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Mudik,
merupakan sebuah istilah yang sering terdengar disaat hari besar keagamaan tiba.
Banyak pemberitaan di acara televisi, radio, ataupun surat kabar yang tidak
pernah luput memberitahukan seputar arus mudik hingga perayaan hari lebaran. Bahkan
dengan adanya momentum mudik, membuat hampir setiap masyarakat yang memiliki
kampung halaman, ikut ambil bagian dalam sibuknya mempersiapkan keperluan yang
dibutuhkan untuk pergi mudik.
Melihat
euforia masyarakat dengan fenomena mudik. Membuat kita lantas bertanya, dari
mana kah asal-usul istilah mudik itu muncul, apakah istilah mudik ini berasal/berakar
dari serapan bahasa Arab? sebagaimana istilah ini ramai hadir dikala bulan Ramadhan
dalam bulan Islam tiba.
Berdasarkan
KBBI, mudik ialah (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman), atau
mudik diartikan juga pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga ataupun
handai tolan sebagai ajang bersilaturahmi, bercengkrama, dan melepas kangen.
Namun hal yang menarik untuk dikupas ialah berkenaan dengan tradisi mudiknya
itu sendiri yang ternyata berbeda daerah dapat berbeda pandangan pula dalam
memaknai istilah mudik. Contohnnya dalam pergaulan masyarakat betawi terdapat
pasangan kata atau istilah yang mendampingi kata mudik, yakni “milir” yang
artinya justru berlawanan dengan kata mudik. Bila mudik diartikan pulang, maka milir
artinya adalah pergi. Hal ini berkaitan dengan fenomena kaum urban yang pergi
mencari nafkah ke daerah lain dan pulang di saat Idul Fitri tiba. Sehingga
dalam istilah betawi mudik juga diartikan “menuju udik” (pulang kampung). Beda
halnya dengan tradisi petani jawa, yang konon tradisi mudik ini telah dikenal
bahkan sebelum kerajaan majapahit berdiri. Tujuan mudik (pulang kampung) pada
waktu itu biasanya bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama
kepada para dewa yang biasa dilakukan rutin sekali dalam setahun. Hal ini masih
tergambarkan dalam tradisi nyekar
hingga sekarang, pergi berziarah ke makam orang tua ataupun saudara, karena
ketika Islam masuk ke tanah nusantara acara-acara atau tradisi primordial
terdahulu tidak lantas dilenyapkan yang memang pada dasarnya merupakan sebuah
arketip budaya, semua hal tersebut dimodifikasi sehingga terjadi proses
enkulturasi yang berlandaskan syariat Islam.
Jika
ditelisik lebih lanjut, istilah mudik ketika dikaitkan dengan keadaan negara
Indonesia yang tersusun atas negara kepualauan yang diliputi oleh banyak
peraiaran khususnya sungai, maka orang-orang pada zaman pramodern mengidentikan
sebutan mudik sebagai arah tujuan suatu tempat, yakni untuk sebuatan hulu-hilir
dan mudik-muara. Mudik berarti pergi ke arah hulu, sedangkan ke hilir berarti pergi
ke arah muara. Sehingga orang yang menuju ke hulu (mudik) dimaknai berarti “naik, “munggah”, pulang”, “ke bukit”, “ke
kampung”. Sedangkan orang yang menuju ke hilir (muara) dapat berati pergi “keluar”, “ke hutan”, “ke pasar” “ke
kebun”, “merantau”, “kerja”. Sedangkan untuk mengaitkan istilah mudik apakah
berasal dari bahasa Arab memang harus dilakukan pengkajian lebih lanjut,
meskipun tidak menutup kemungkinan istilah mudik ini berasal dari serapan
bahasa Arab. Mengingat akan peran bangsa Arab khususnya melalui penyebaran
Islam yang memang sudah turun temurun dan terindikasi tertanam kuat di
Indonesia. Semisal kata “Murid” yang berasal dari kata arooda atau yuuridu,
yang berarti orang yang menginginkan sesuatu, “Mu-zakki” orang berzakat,
“Mu-Safir” orang yang melakukan perjalanan. Begitupun banyak orang yang percaya
bahwa istilah Mudik berasal juga dari istilah serapan bahasa arab, “Mu dan dik”
yang berarti orang yang pulang kampung.
Terlepas
akan perbedaan pandangan terhadap asal usul istilah mudik, baik dari mana pun
istilah mudik itu berasal. Hal yang menjadi tolak ukur paling utama ialah
bagaimana kita dapat memaknai esensi (hakikat) fenomena mudik itu sendiri. Jangan
sampai niat pergi mudik justru hanya dijadikan sebagai ajang pamer seabrek kekayaan
ataupun malah menyombongkan diri ketika pulang ke tempat asal karena menganggap
diri sukses merantau di tempat lain. Seyogianya kita mampu arif dan bijaksana
dalam menyikapi momentum mudik sebagai ajang bersilaturahmi sehingga
mendapatkan keberkahan dibulan yang suci dan penuh rahmat Tuhan ini.
Komentar
Posting Komentar